Kementerian Agama terus memprioritaskan program-program terkait pengarusutamaan moderasi beragama, hal ini disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat membuka Dialog Nasional Keagamaan dan Kebangsaan, di Makassar, Sulawesi Selatan.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan bahwa agama dan negara sama-sama saling membutuhkan. Relasi keduanya adalah simbiosis mutualisme. Agama memerlukan wadah bangsa, kehidupan kebangsaan memerlukan nilai-nilai agama sebagai panduan, acuan di tengah kehidupan yang beragam.
“Karena bagaimanapun juga para penyelenggara negara perlu dikontrol, diimbangi dengan nilai-nilai agama, agar jalannya pemerintahan tidak kering dan menjaga moderasi beragama, pada hakikatnya juga menjaga Indonesia,” tegas Menag.
Dialog yang bertajuk “Mengarusutamakan Islam Wasathiyah, Menyikapi Bahaya Hoax dan Fitnah bagi Kehidupan Keagamaan dan Kebangsaan” ini, digelar Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen Bimas Islam) melalui Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah.
Lebih lanjut Menag menjelaskan bahwa program-program terkait moderasi beragama, adalah upaya agar sikap beragama seluruh warga negara di tanah air tetap berada pada jalurnya yang tidak berlebihan.
Saat ini, Menag menambahkan, terdapat kecenderungan sebagian orang terjebak pada pengamalan agama yang berlebihan. Dengan mengatasnamakan agama, katanya, sebagian orang menebarkan cacimaki, amarah, fitnah, berita bohong, memecahbelah, bahkan menghilangkan eksistensi kelompok berbeda.
“Untuk itu, kita ingin mereka yang mengamalkan pemahaman agama yang berlebihan itu dapat kembali ke tengah, yang sikap beragamanya dapat memanusiakan manusia,” jelas Menag.
“Agama Islam dengan kebangsaan seperti dua sisi mata uang, berbeda namun keduanya tidak bisa dipisahkan. Islam sebagai ajaran yang kita yakini kebenarannya, memerlukan wadah, tempat di mana nilai-nilai itu bisa diaktualiasikan, agar mewujud dalam kehidupan keseharian, itulah negara bangsa ini,” papar Menag.
Indonesia dinilai dunia sebagai bangsa religius. Tidak ada satupun suku bangsa di Indonesia yang tidak menjunjung tinggi nilai agama. Dan, itu sudah berlangsung sejak ratusan tahun lau, sebelum Indonesia berdiri.
Religiusitas Indonesia juga tercermin dalam kehidupan bernegara. Alenia ketiga pembukaan UUD 1945, secara ekplisit ditegaskan bhawa kemerdekaan diraih atas berkat rahmat Allah SWT. Presiden-Wakil Presiden, dan seluruh pejabat negara, semua mengawali masa jabatannya dengan bersumpah sesuai dengan agamanya.
“Jarang kita menemui negara didunia ini, yang penyelenggaraan negaranya mengawali dengan sumpah atas nama Tuhan. Begitu arifnya para pendahulu, menempatkan Agama yang tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Menag.
“Konstitusi kita, sangat sarat, penuh dengan nilai-nilai agama. Tidak hanya kosakata agama, tapi juga terma, diksi secara langsung atau tidak langsung terkait dengan Agama,” tambahnya.
Agama, kata Menag, juga perlu dikontrol negara agar tidak terjerumus pada prilaku eksesif. Misalnya, karena klaim kebenaran dan lainnya. “Di sinilah negara berperan sebagai pengontrol, agar agama selalu pada koridornya yang moderat,” tambah Menag.
Menag mengaku, sejak empat tahun terkahir, pihaknya terus mempromosikan moderasi beragama.
Meski begitu, imbuhnya, akhir-akhir ini sikap beragama di Indonesia mengalami dinamika akibat beredarnya berita-berita bohong (hoax) yang seringkali mengatasnamakan agama.
“Di media sosial, masyarakat sulit dihindarkan dari informasi palsu, provokasi, fitnah, dan lain sebagainya yang menimbulkan syakwasangka serta sikap intoleran dan permusuhan. Hoax merupakan sarana kebohongan publik yang memicu keresahan massal,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Menag menekankan bahwa perang melawan hoax harus dilakukan semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Agama, katanya, terus berkomitmen untuk mewujudkan kehidupan keagamaan dan kebangsaan yang sehat demi keutuhan NKRI.
Biro Humas, Data dan Informasi Kemenag bersama Tim Komunikasi Pemerintah Kemkominfo