Puskesmas merupakan ujung Tombak Menuju Akreditasi

Puskesmas merupakan ujung Tombak Menuju Akreditasi

Puskesmas merupakan ujung Tombak Menuju Akreditasi

Gunung Mas – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Gunung Mas terus kerja keras untuk mewujudkan akreditasi  sejumlah Puskesmas di masing-masing unit pelaksana teknis. Untuk memenuhi syarat akreditasi dibutuhkan upaya pembenahan terhadap berbagai sektor pelayanan dan prasarana.

Wakil Bupati Gunung Mas Rony Karlos, S.Sos mengatakan, Pukesmas merupakan ujung Tombak dan Tolak ukur pelayanan publik di bidang kesehtan. Keputusan Menteri kesehatan nomor 75 tahun 2014 tentang pusat kesehatan masyarakat, merupakan landasan hukum dalam penyelenggaraan Puskesmas.

Wakil Bupati Gunung Mas Rony Karlos saat menghadiri Survei Akreditasi FKTP di Aula Kecamatan Tewah, Selasa (26/2/2019).

“Perlu diketahui bahwa Kabupaten Gunung Mas memiliki total 17 Puskesmas dengan 6 Puskesmas rawat inap dan 11 Puskesmas rawat jalan, dengan jumlah sebanyak 13 Puskesmas yang telah terakreditasi. Puskesmas Tewah merupakan rawat inap yang ditargetkan survei di tahun 2019,”  kata Wakil Bupati Rony Karlos, S.Sos saat manyampaikan sambutannya di Aula Kantor Kecamatan Camat Tewah, Selasa (26/2/2019) pagi.

Dalam pelaksanaan kegiatan Puskesmas sangat diperlukan peran lintas sektor, tokoh agama, dan tokoh masyarakat dalam mendukung tercapainya target kinerja Puskesmas. Kami selaku pimpinan daerah mendukung sepenuhnya terhadap seluruh kegiatan Puskesmas karena Puskesmas tidak dapat sendiri selama menjadi program dan kegiatannya dalam kesempatan yang baik. Sehingga dapat terwujud derajat kesehatan yang optimal.

 “Berkaitan dengan hal tersebut, maka saat ini kita bersama-sama akan memulai kegiatan survey akreditasi puskesmas di Tewah, dengan harapan menjadi puskesmas terakreditasi, semangkin meningkatkan kinerja dan pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten Gunung Mas,” tuturnya.

Press Release Bidang Pengelolaan Informasi Publik.

Tingkatkan Partisipasi, KPU Sosialisasi Pemilu 2019

Tingkatkan Partisipasi, KPU Sosialisasi Pemilu 2019

Tingkatkan Partisipasi, KPU Sosialisasi Pemilu 2019

Gunung Mas – Sosialisasi meningkatkan partisipasi pemilih pada pemilihan umum serentak tahun 2019, dilingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) kegiatan ini bekerja sama dengan Komisi Pemilihan  Umum (KPU) Kabupaten Gunung Mas, yang dilaksanakan di ruang rapat lantai I Kantor Bupati Gunung Mas, Selasa (26/2/2019) pagi.

Turut hadir, Asisten I Drs. Ambo Jabar, M.Si, Kepala Bagian Hubungan Kerjasama Setda Provinsi Kalimantan Tengah Drs. Yoyo, M.Si Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Gunung Mas Stepenson.

Kegiatan ini yang diikuti oleh peserta pelajar SMA/ Sederajat yang terdaftar sebagai pemilih pemula, Purnawirawan Anggota TNI dan POLRI, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat Tokoh Adat, serta pihak terkait lainnya.

“Hal yang harus kita sampaikan kepada pemilih pemula salah satunya adalah memberikan sosialisai dalam rangka kita meningkatkan partisipasi pemilihan umum serentak tahun 2019 ini,” ujar Ambo Jabar.

Menurutnya, priode demi periode diharapkan jumlah pemilih ini semangkin meningkat, yang artinya kesadaran kita akan kehidupan berbangsa dan bernegara itu semangkin lebih baik dan mantap.

Tentunya harapan kami kepada semua peserta agar mengikuti kegiatan sosialisasi ini dengan baik, pergunakan kesempatan yang ada, untuk bertanya hal-hal yang belum dimengerti.

Dalam rangka kita mempersiapakan Pesta demokrasi ini, ada satu pemahaman tidak terlepas dari pribadi demi pribadi bahwa ini adalah pekerjaan kita bersama, tentunya partisipasi pemilih ini agar lebih meningkat.

“Oleh Karena itu pada kesempatan ini saya sampaikan kepada kita semua pergunakan hak pilih kita dengan bijak memilih pemimpin kita sesuai dengan hati nurani hak kita, ini adalah menentukan nasib bangsa dan Negara ini lima tahun kedepan,” tandasnya.   

Press Release Bidang Pengelolaan Informasi Publik.

Sejarah GKE

Sejarah GKE

Sejarah GKE

Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) dimulai pada abad ke-19 ketika di Eropa terjadi kebangkitan kesadaran untuk mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Abad ini dikenal sebagai “The Great Century” (Abad Agung) untuk Pekabaran Injil (PI).
Pada tahun 1830-an tersiar kabar mengenai pulau Kalimantan di tanah Jerman. Dalam cerita-cerita itu digambarkan mengenai ratusan ribu orang Dayak masih tertinggal dalam peradaban: sering terjadi perang antar suku, praktek pengayauan, masyarakatnya tidak mengenal pendidikan dan pelayanan kesehatan. Orang-orang Dayak tersebut tinggal dalam “kegelapan”, karena belum menerima Injil. Karena itu muncul kerinduan, kesadaran dan semangat yang menggebu-begu di kalangan umat Kristen di Jerman untuk memberitakan Injil ke Kalimantan.

  1. Periode I, 1835 – 1920 (Periode Perintisan Oleh Misionaris)
    Kerinduan, kesadaran dan semangat itu selanjutnya diwujudkan dengan diutusnya dua orang misionaris dari Rheinische Missionsgezelschaft zu Barmen (RMG) untuk berangkat ke Kalimantan, yakni Barnstein dan Heyer. Mereka berdua pertama-tama datang ke Batavia (Jakarta). Namun, Heyer walaupun dengan penyesalan kemudian harus kembali ke Jerman karena sakit. Dan sesudah melalui perundingan sekitar enam bulan dengan pemerintah Hindia Belanda, dengan menumpang kapal selama 44 hari, maka pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein untuk pertama kalinya menginjakkan kakinya di Banjarmasin. Selanjutnya, enam bulan kemudian datang lagi menyusul tiga Missionaris dari Jerman, yakni Becker, Hupperts dan Krusmann. Dalam beberapa tahun kemudian berdatangan lagi sejumlah missionaris lainnya dari Jerman untuk memberitakan Injil di Kalimantan.
    Pada tahap awal kedatangan Barnstein di Kalimantan, maka sesuai dengan pemberitaan di jerman mengenai Kalimantan, yang pertama-tama dicarinya adalah orang-orang Dayak. Karena itu selama beberapa bulan pertama ia mengadakan sejumlah perjalanan ke pedalaman Kalimantan untuk menjajaki kemungkinan bagi pelaksanaan pemberitaan Injil. Dalam perjalanan tersebut, di Gohong (Kahayan Hilir KalimantanTengah), Barnstein mengadakan upacara “angkat saudara dengan pertukaran darah” (Hangkat hampahari hatunding daha) dengan Temanggung Ambo Nikodemus, Kepala Suku setempat. Sejak itu Barnstein dianggap saudara oleh orang Dayak karena telah bertukar darah dengan kepala suku Dayak.
    Sesudah melalui sejumlah perjalanan awal itu, selanjutnya Barnstein bersama dengan beberapa missionaris membuka stasi-stasi pangkalan PI) di beberapa wilayah Kalimantan Tengah. Pangkalan/stasi pekabaran injil yang pertama di Pulau Kalimantan adalah Bethabara, terletak di tepian Sungai Murong Kab. Kapuas Kalimantan Tengah, didirikan oleh seorang penginjil dari Danisch-Halliche Mission, Berger, Tahun 1839. Di sinilah pertama kali diadakan baptisan di Kalimantan yaitu pada Tanggal 10 April 1839 oleh Hupperts (Tahun 1839 inilah dianggap sebagai tahun cikal bakal berdirinya GKE sehingga dimasukkan ke dalam komponen/unsur Logo Resmi GKE sekarang hasil SU Sinode XXIII di Tamiang Layang Tahun 2015).
    Dengan adanya stasi-stasi ini, mulailah diadakan usaha-usaha di bidang pendidikan seperti pendirian sekolah-sekolah, pelayanan kesehatan, pemberitaan, perkunjungan dan percakapan langsung dengan orang-orang Dayak. Dengan demikian, beberapa metode yang dipakai oleh para missionaries untuk mencapai orang Dayak dengan Injil adalah : (1) memenangkan ikatan persahabatan dan persaudaraan, (2) Pendekatan kepada golongan atasan/kepala suku, (3) Perbaikan taraf hidup sosial ekonomi rakyat, (4) Pendidikan dan (5) Pelayanan Kesehatan.
    Dengan lambat sekali Injil mulai menyelusup dan merintis jalannya sendiri ke celah-celah hati suku Dayak. Periode ini menuntut kesabaran dan keuletan.
    Periode pertama PI di Kalimantan mengalami cobaan berat ketika terjadi pemberontakan Hidayat dari Kesultanan Banjarmasin 01 Mei 1859, pemberontakan ini didukung oleh banyak tokoh masyarakat Dayak yang berhasil dihasut. Tujuan pemberontakan adalah mengusir pemerintah Belanda dan semua orang kulit putih dari bumi Kalimantan. Pemberontakan ini memakan korban baik dari pihak pemerintah Belanda maupun para misionaris Jerman. Empat orang missionaris, tiga orang isteri dan dua orang anak mereka mati dibunuh oleh orang Dayak sendiri. Missionaris Roth, Wiegand dan isteri, Misionaris Kind dan isteri beserta dua orang anak mereka mati dibunuh di Tanggohan. Missionaris Hofmeister dan isteri di bunuh di Penda Alai. Sedangkan Missionaris Klammer yang berada di Tamiang layang, yang dalam keputusasaan dan ketakutan berhasil diselamatkan oleh para pemimpin Dayak Maanyan.
    Sejak pemberontakan yang memakan korban orang-orang kulit putih tersebut, Pemerintah Hindia Belanda melarang semua orang kulit putih termasuk para missionaris untuk masuk ke pedalaman Kalimantan. Hasil Pekabaran Injil yang sudah berlangsung 25 tahun itu musnah dihapus oleh kegagalan, kekecewaan, air mata dan darah.
    Baru beberapa tahun kemudian, sesudah pemberontakan Hidayat dapat ditumpas (1866), Pemerintah Hindia Belanda mengijinkan para Missionaris memulai kembali pekerjaan mereka di sekitar “benteng Belanda”. PI dimulai kembali di berbagai kawasan termasuk pembukaan daerah baru. Tahun 1911, tercatat 3.000 orang Dayak sudah dibabtis menjadi Kristen.
    Pertobatan di kalangan suku Dayak memang sangat sukar dan lambat. Ini berkaitan dengan kuatnya ikatan orang Dayak terhadap adat dan agama sukunya, termasuk karena keharusan bagi Orang Dayak yang hendak menjadi Kristen untuk meninggalkan kebudayaan Dayaknya oleh para missionaris.
    Awal abad XX ditandai oleh tragedi dunia dengan pecahnya Perang Dunia I di Eropa. Salah satu akibat nyata yang dialami oleh Badan Zending RMG akibat Perang Dunia I tersebut adalah kesulitan keuangan yang parah. Badan ini tidak mampu lagi membiayai pelaksanaan PI baik di Kalimantan maupun Sumatera. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan kerinduan sebuah Badan Zending di Basel, Swiss yang bernama Basler Misssionsgezellschaft, (BM) maka pada tahun 1920 disepakati bahwa BM mengambil alih pelaksanaan PI di Kalimantan. Sedangkan gambaran hasil PI di Kalimantan pada waktu itu adalah : jumlah orang Kristen 5.000 orang, 14 Pemberita, 39 Penatua, 14 missionaris dan isteri mereka, 11 stasi (pangkalan induk). Langkah-langkah BM adalah menempatkan empat missionaris mereka di pangkalan induk, yakni missionaris Henking di Banjarmasin, Weiler di Tamiang Layang, Kuhnle di Mengkatip, dan Huber di Puruk Cahu.
  2. Periode II, 1920 – 1935 (Periode Peralihan Zending)
    Mengawali tugasnya di Kalimantan, BM melakukan tugas PI dengan mengandalkan missionaris-missionaris yang datang dari Jerman dan kemudian Swiss. Belum banyak orang Dayak yang dilibatkan dalam berbagai kegiatan PI. Namun, BM memang berminat untuk mendirikan gereja suku. Oleh sebab itu usaha pertama yang dilakukan adalah meneruskan apa yang sudah dirintis oleh RMG, yakni melakukan pelayanan kesehatan, pendidikan, menghidupkan jemaat dan mempersatukannya menjadi satu gereja yang akan berdiri sendiri. Dalan rangka itu dilihat pentingnya melibatkan orang-orang Dayak dalam pelaksanaan PI dan pembinaan jemaat di Kalimantan. Konsolidasi stasi-stasi mulai dilakukan dan dikembangkan menjadi satu lembaga persekutuan orang-orang Kristen yang kemudian akan menjadi jemaat.
    Peraturan Gereja untuk orang-orang Kristen di Kalimantan mulai disusun, sejumlah persidangan gerejawi pun dilaksanakan, seperti : diterimanya Peraturan Sidang Jemaat Kristen yang disahkan oleh RMG pada tahun 1912 menjadi dasar hidup berjemaat, pertemuan para missionaris dan sejumlah utusan jemaat/stasi, yang dilaksanakan di Banjarmasin, 03 – 04 Maret 1925, Konferensi Pekerja Zending tahun 1926, 1928 dan 1930. Selanjutnya Sinode Mandomai tahun 1930 memutuskan menerima secara resmi Peraturan Sidang Jemaat Kristen di Borneo Selatan yang sudah diperbarui sebelumnya (1925) dan dipilihnya anggota Majelis Sinode (Synodale Commissie) pertama dengan keanggotaan :

Ketua : Pdt. K. Epple (Zending BM)
Wakil Ketua : August Narang
Anggota : Pdt.C. Weiler (Zending), M. Lampe, E.Tahanan, A Kiting dan A. Blantan.
Anggota Kehormatan : F. Dingang

Sejak tahun 1930, dilakukan persiapan untuk membentuk jemaat-jemaat yang tersebar di Kalimantan hasil PI RMG dan BM ke dalam satu wadah lembaga Gereja. Dalam rangka persiapan itu pada tahun 1932 didirikan Sekolah Teologia di Banjarmasin. Usaha memperkuat peran orang Dayak pun dilakukan dengan serius oleh pihak Zending BM dan pada tahun 1935 adalah tahun yang paling bersejarah dengan berdirinya Gereja Dayak Evangelis (GDE) secara mandiri.

  1. Periode III, 1935 – 1945 (Periode Lahirnya Gereja Dayak)
    Proklamasi berdirinya Gereja Dayak Evangelis dilaksanakan pada persidangan Sinode Umum di Kuala kapuas yang berlangsung sejak tanggal 2-6 April 1935. Persidangan tersebut dihadiri oleh 30 orang Kristen Dayak dan 8 orang Penginjil Zending. Dalam persidangan tersebut, pada tanggal 4 April 1935 pukul 12 siang disahkan secara resmi Peraturan Gereja I Gereja Dayak Evangelis. Inilah tanggal yang dinyatakan sebagai berdirinya Gereja Dayak Evangelis disingkat GDE sebagai Gereja yang berdiri sendiri. Kemudian pada tanggal 5 April 1935, bersamaan dengan perayaan genap 100 tahun (SEABAD) pekabaran Injil di Kalimantan, maka kelima pemuda lulusan Sekolah Theologia Banjarmasin yang dianggap memiliki potensi besar telah ditahbiskan di gedung Gereja Hampatung (Kuala Kapuas), sebagai Pendeta-pendeta pertama dari Gereja Dayak Evangelis (GDE). Pengutusan, Berkat dan Pentahbisan Suci 5 (lima) “Pendeta Dayak” pertama yang dilakukan Zending Basel oleh Inspektur Sir H. Witschi. Pada tanggal 5 April 1935, sebagai berikut :
  2. Pdt. RUDOLF KITING, ditempatkan di Rungan dengan kedudukan di Tumbang Bunut.
  3. Pdt. EDUARD DOHONG, ditempatkan di Miri dengan kedudukan di Tumbang Sian.
  4. Pdt. GERSON AKAR, ditempatkan di Hulu Kapuas dengan kedudukan di Sungai Hanyu.
  5. Pdt. HERNALD DINGANG PATIANOM, ditempatkan di Sungai Tiwei dengan kedudukan di Benangin.
  6. Pdt. MARDONIUS BLANTAN, ditempatkan di Dusun Timur dengan kedudukan di Tewah Puluh.

Daerah-daerah tempat ke – 5 pendeta pertama itu ditempatkan adalah merupakan daerah-daerah front pekabaran injil. Dari sini sudah tampak karakter Gereja Dayak dengan segala pekerjaannya, selaku gereja yang mengabarkan Injil sesuai dengan nama Gereja tersebut yaitu “Evangelis”.
Patut pula dicatat dalam sejarah gereja ini, bahwa kelima Pendeta pertama ini adalah tokoh-tokoh Pionir dan pesuruh-pesuruh Injil yang penuh daya gerak diantara orang sebangsanya dan mereka inilah yang merupakan orang-orang pertama PEKERJA NASIONAL GEREJA dan bukan pekerja suatu lembaga atau badan Zending dari luar negeri.
Penguatan Peran Orang Dayak Kristen dalam mengelola GDE semakin dimatangkan. Pada tahun 1937 diadakan Konferensi Pengerja Zending yang menegaskan: “Badan Zending patutlah semakin berkurang, dan gereja Dayak makin bertambah. Hendaklah kita semakin mengundurkan diri sampai pada pelayanan persaudaraan dan nasihat”.
Pada tahun 1939, keadaan GDE yang dapat dicatat adalah sebagai berikut : Jumlah anggota 15.000, tenaga pengerja Dayak (pribumi) 235, terdiri dari 16 pendeta – 33 pemberita Injil – 158 guru – 26 pembantu perawat – 1 kolportir – 1 dokter diperbantukan. Pengerja Zending 40 tenaga, terdiri dari 14 missioner, 3 dokter, 4 suster, 2 guru, 1 administratur (dengan keluarga masing-masing).
Gereja yang masih sangat muda ini kembali mendapat ujian berat seiring dengan terjadinya Perang Dunia II pada tahun 1940-an. Kengerian yang pernah terjadi pada masa PD I kembali terulang dengan intensitas yang lebih besar. Para Missionaris dan keluarga yang berasal dari Jerman dan Swiss ada yang ditawan dan diangkut ke Jawa untuk selanjutnya dipulangkan. Dalam penawanan dan pembuangan sejumlah missionaris dan keluarga tersebut, ketika diangkut untuk dibuang ke kamp Interniran di India, kapal yang mereka tumpangi karam dan menewaskan semua penumpang termasuk para missionaris dan keluarga mereka.
GDE dengan beberapa pendeta Swiss dan Belanda yang masih ada di Kalimantan ditambah beberapa pendeta Dayak sendiri harus berjuang mempertahankan hidupnya dengan berbagai kekurangan dan kesulitan akibat penguasaan tentara Jepang.
Awal bulan Pebruari 1942, merupakan awal habisnya para pengerja yang berasal dari Badan Zending di Eropa dan hancurnya sejumlah sarana yang didirikan Zending oleh tentara Jepang. Hubungan dengan Zending di Eropa putus sama sekali. Pada masa pendudukan Jepang inilah GDE yang masih muda harus benar-benar mampu berdiri berdasarkan kekuatan sendiri. Pada masa ini pula datang sejumlah Pendeta dari Jepang, seperti: Pdt. Shirato, Pdt. S. Honda, Pdt. K. Kaneda, dan Pdt. Suzuki. Dengan bantuan beberapa pendeta Jepang ini GDE terus berbenah diri. Melalui sejumlah konferensi, GDE semakin memantapkan organisasi dan kehadiran-nya sebagai Gereja Tuhan di Kalimantan. Dan ini terus berlangsung sampai Proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945. Pada akhir tahun 1944 terdapat jumlah anggota GDE sebanyak 16.671 orang.

  1. Periode IV, 1945 – 1960 (Periode Perubahan Nama GDE)
    Sejak tahun 1945, GDE mulai membangun wajah baru dengan kehadirannya yang semakin kokoh di bumi Kalimantan. Pada saat yang sama, seiring dengan tumbuhnya kesadaran dan semangat keesaan gereja, GDE semakin terlibat di dalam kegiatan oikumenis Gereja-Gereja di Indonesia. Hal ini selanjutnya ditunjukkan dengan kesadaran bahwa orang-orang yang bisa menjadi anggota gereja ini bukan hanya orang Dayak, melainkan semua orang dari berbagai suku bangsa yang ada di Kalimantan.
    Atas dasar kesadaran oikumenis itulah, maka pada Sinode Umum GDE ke-5 Di Banjarmasin pada tahun 1950, seiring dengan masuknya GDE menjadi anggota Dewan gereja-Gereja Di Indonesia (DGI), nama Gereja Dayak Evangelis (GDE) diganti menjadi “GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS” (GKE). Gereja ini tidak lagi membatasi diri sebagai gereja suku tetapi gereja yang terbuka untuk semua orang yang ada di Kalimantan.
    Mulai pada Tahun 1960 GKE memperluas wilayah pelayanannya ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Dengan demikian sejak itu kawasan pelayanan GKE meliputi seluruh wilayah Kalimantan.

Tantangan yang harus dihadapi GKE adalah perkembangan masyarakat dan dunia yang terus berlangsung secara cepat dan berubah-ubah. GKE perlu benar-benar hadir sebagai alat kesaksian di bumi Kalimantan bersama-sama dengan semua umat beragama lainnya dari semua suku bangsa yang ada. GKE-pun terus dipanggil dan ditantang untuk semakin eksis dalam membawa syalom Allah di bumi Kalimantan sampai Ia mengenapkan rencana-Nya secara sempurna.

(diambil dari berbagai sumber di internet dan Dipetik dari 100 tahun sejarah pekabaran Injil di Tanah Borneo. Dan lahirnya Gereja Dayak Evangelis (GDE) pada tanggal 4 April 1935. (dicetak ulang oleh Majelis Resort GKE Palangka Raya-1993) Sebagai generasi muda, kita harus bangga akan “Rasul-rasul” Tuhan di Tanah Dayak ini, bermula dari Pendeta Johann Heinrich Barnstein dan para misionaris lainnya yang berjuang tanpa memikirkan keselamatan diri tapi menyerahkan semua kepada TUHAN, dan juga 5 Pendekar Dayak yang pergi melayani tanpa pamrih untuk memberitakan keselamatan dan menjadikan kita Bangsa Dayak menjadi Bangsa yang beradab, memiliki pengetahuan dan memiliki kasih dan yang utama memiliki TUHAN YESUS sebagai Tuhan dan Juru Selamat).

Dipetik facebook MJ GKE HOSIANA Palangka Raya.

Rapat Kerja dan Evaluasi meningkatkan kapasitas profesionalisme  Perangkat Desa

Rapat Kerja dan Evaluasi meningkatkan kapasitas profesionalisme Perangkat Desa

Rapat Kerja dan Evaluasi meningkatkan kapasitas profesionalisme  Perangkat Desa

Gunung Mas – Sebanyak 279 peserta terdiridari kepala desa, Perangkat Desa Ketua BPD dan Camat seKabupaten Gunung Mas mengikuti rapat kerja dan evaluasi pemerintah desa kegiatan itu digelar Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMDES) Kabupaten Gunung Mas (Gumas) mulai 21-23 Februari 2019.

“Melalui kegiatan rapat kerja dan Evaluasi Pemerintah Desa Kabupaten Gunung Mas tahun 2019 ini saya mengajak kita semua untuk menjadikan forum ini sebagai wadah berdiskusi untuk saling memahami dan memperoleh suatu rumusan dan formulasi yang tepat dan efektif guna menentukan rangkaian arahan kebijakan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tata kelola pemerintahan desa yang transparan, profesional, dapat dipertanggungjawabkan, efektif, dan efisiensi, berskala lokal,” uacap Bupati Gunung Gumas Arton S Dohong dalam sambutannya di GPU Damang Batu, Kamis (21/2/2019) pagi.

Diakatakanya, dalam hal upaya untuk meningkatkan kapasitas dan profesionalisme dalam penyelenggaraan pemerintah, apabila Kepala Desa, Perangkat Desa dan BPD masih belum dapat memahami tugas pokok dan fungsinya dengan baik, saya minta agar masing-masing lembaga ini dapat meningkatkan kompetensinya melalui pelatihan-pelatihan atau pun dengan cara berkonsultasi, berkoordinasi dan berdiskusi dengan Camat beserta jajarannya.

Pada kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan bahwa sebentar lagi kita akan melaksanakan proses pemungutna suara dalam pemilihan legislatif, dan pemilihan Presiden yang akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 17 April 2019. Kiranya kita semua dapat berpartisipasi dalam mensukseskan acara tersebut, saya berharap kepada seluruh peserta rapat kerja dan evaluasi agar mensosialisasikan kepada seluruh masyarakat agar menggunakan hak pilih sebaik-baiknya.

“Saya harapkan pada seluruh peserta agar dapat mengikuti kegiatan ini, dengan baik dan sungguh-sungguh, tanyakan kepada para narasumber hal-hal yang belum jelas, shingga setelah kegiatan ini selesai, seluruh Kapala Desa, Sekretaris Desa dan Ketua BPD dapat melaksanakan tugas-tugas dapat lebih baik lagi,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala DPMDES Kabupaten Gunung Mas (Gumas) Yulius Agau menambahkan, kegiatan ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan tata kelola Pemerintah Desa dan BPD, pelaksanaan Pembangunan, Pemberdayaan Masyarakat, Pembinaan Kemasyarakatan, Pelaporan dan pertanggung jawaban serta kinerja Kepala Desa dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Desa. Menyampaikan pokok-pokok perubahan sistem keuangan desa dan siskeudes versi 2.0 sesuai Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 dan kewajiban perpajakan bagi desa.

Press Release Bidang Pengelolaan Informasi Publik.

Musrenbang Kecamatan, menjaring kebutuhan nyata masyarakat

Musrenbang Kecamatan, menjaring kebutuhan nyata masyarakat

Musrenbang Kecamatan, menjaring kebutuhan nyata masyarakat

Gunung Mas – Pemerintah Kabupaten Gunung Mas melaksanakan Musrenbang tingkat Kecamatan Kurun kegiatan ini bertempat di aula kantor Camat Kurun, Rabu (20/2/2019) pagi.

Proses Musrenbang pada dasarnya mendata dan mengolah aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang dirumuskan melalui pembahasan di tingkat desa/kelurahan, dilanjutkan di tingkat kecamatan, dikumpulkan berdasarkan urusan wajib dan pilihan pemerintah daerah, dan selanjutnya diolah dan dilakukan skala prioritas program/kegiatan di tingkat Kabupupaten oleh tim anggaran Pemerintah Daerah bersama pemangku kepentingan.

Hal ini  disampaikan Bupati Gunung Mas Arton S. Dohong dalam sambutan tertulisnya dibacakan oleh Kepala Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (BP3D) Gunung Mas (Gumas) Salampak pada pembukaan Musrenbang Kecamatan Kurun.

“Dikatakannya, Musrenbang Kecamatan, selain menjaring kebutuhan nyata masyarakat desa/kelurahan, juga berfungsi untuk memaduserasikan dengan kebijakan pembangunan pemerintah Kabupaten, sekaliguis mengidentifikasi program-program nasional yang langsung ke masyarakat,” ujar Arton.

Untuk memperbesar peluang usulan kegiatan dari Kecamatan maka pada tahun 2019 ini, penganggaran usulan kegiatan Kecamatan akan menggunakan pendanaan yang bersumber dari APBD Kabupaten, APBD Provinsi maupun APBN.

Perlu dikatahui, bahwa pelaksanaan Musrenbang merupakan salah satu bentuk mengikutsertakan masyarakat sehingga bisa turut serta berpartisipasi merencanakan pembangunan  di wilayah masing-masing, sehingga diharapkan tahun-tahun ke depan, partisipasi masyarakat terus meningkat baik itu dari segi jumlah dan juga keterwakilan perempuan di dalam Musrenbang,” ungkapnya.

“Secara khusus untuk pelaksanaan Musrenbang tingkat Kabupaten nanti, saya harapkan kiranya delegasi yang sudah ditunjukan mewakili dari kecamatan suapaya dapat menjalankan tugas delegasinya dengan baik, sehingga dapat mengawal usulan yang disampaikan dan bisa memberikan saran dan masukan pada Musrenbang Kabupaten,” tandas Bupati Gunung Mas.

Kegiatan dihadiri Camata Kurun Holten, Kapolsek Kurun IPDA Noviandhi.W.S.Sos, Anggota DPRD daerah dapil I (satu) sejumlah Pejabat Eselon III dan IV dari masing-masing prangkat Derah Lurah, Kepala Desa (Kades) dan BPD, Sekcam Kurun dan stakeholder lainnya.   

Press Release Bidang Pengelolaan Informasi Publik.